apa maksud mtematika sebagai aktivitas
MATEMATIKA SEBAGAI AKTIVITAS MANUSIA
Apapun bentuk matematika baik konkret maupun abstrak semua merupakan pekerjaan
manusia dan dihasilkan oleh manusia. Perhitungan, algoritma, bukti, teorema, dalil, gambar
suatu diagram, konsekuensi dari asumsi dan sebagainya, semuanya jelas-jelas dilakukan atau
diakibatkan oleh manusia. Seseorang yang melakukan sesuatu menggunakan matematika
merupakan anggota dari masyarakat. Akan tetapi, banyak orang, termasuk kita, bertanya kenapa
(seolah-olah) apa dihasilkan oleh matematikiawan berbeda dengan apa dibutuhkan dan dilakukan
oleh masyarakat padahal mereka notabene juga manusia sebagai bagian dari masyarakat.
Sebaliknya, matematika yang muncul pada jaman Mesir Kuno atau Jaman Mesopotamia,
pengetahuan ini terdiri dari sekumpulan prosedur/resep untuk menyelesaikan masalah (dalam
kehidupan sehari-hari) dan ini tidak pernah dipermasalahkan. Seorang psikologi pendidikan
matematika Austria Dörfler (2007) mempunyai tesis berikut “Make the learners aware of the
human origin and nature of all of mathematics and of all that is said about mathematics”. Thesis
ini merupakan refleksi dari seorang ahli pendidikan matematika yang kecewa melihat begitu
banyaknya siswa yang gagal mempelajari matematika disemua tingkat dan semua level
pendidikan di Austria. Begitu juga di Indonesia, Zulkardi (2002) mengungkap begitu banyak
siswa menjadikan matematika sebagai “momok”.
Phenomena ini tentunya merupakan refleksi “ketakutan” atau frustasi siswa terhadap
pelajaran matematika. Refleksi ini muncul akibat kegagalan mereka memahami matematika itu
sendiri. Kegagalan memahami matematika ini mendoktren siswa untuk beranggapan bahwa
pelajaran matematika hanya cocok untuk siswa pintar saja (extraordinary student). Sebagai
ilustasi, kita tinjau komputasi aritmatika (−1)(−1) =1 dan entitas (−1) = i . Kita jelaskan ini
kepada siswa (-1) kali (-1) sama dengan 1 dan akar dari -1 sama dengan i . Siswa menghadapi
masalah kognitif yang begitu berat dengan simbol dan aturan-aturan ini. Apa arti -1 ini ? Kenapa
-1 kali -1 hasilnya 1? Kenapa −1 = i2 ? Ini semua tidak relevan dengan keperluan saya sebagai
siswa. Pengalaman ini dianggap tidak masuk akal (not make sense).
Sangat menarik apa yang dikatakan oleh Wittmann (2007) tentang perkembangan
pengajaran matematika dalam artikelnya yang berjudul Mathematics as the Science of
Pattern-from the very Beginning, ia mengatakan sebagai berikut
“Today mathematics teaching is similarly endangered by another movement which is not derived from
a certain conception of mathematics but determined by the intention to ensure measurable outputs. This
movement is controlled by psychologists and pedagogues who do not have any idea of mathematics and
collaborating mathematics educators.”
Pengajaran matematika tidak mempunyai roh, bukan berdasarkan philosofi matematika yaitu
mempelajari perhitungan tentang subjek apa yang sedang dipelajari. Pengajar tidak memahami
tentang sifat-sifat matematika, tidak punya gambaran jelas tentang ide-ide dalam matematika,
akan tetapi pengajaran matematika hanya bersandarkan pada bagiamana mengajar saja, hanya
mengikuti prosedur melaksanakan pendekatan-pendekatan pengajaran saja, simbol dan konteks
banyak salah sasaran.
Menurut Withmann, seharusnya, pengajaran matematika harus dalam koridor matematika
sebagai ilmu pengetahuan tentang bentuk. Memang Wittmann ini sangat dipengaruhi oleh
pandangan matematika Bourbaki. Wittmann tidak sendirian yang memprovokasi gagasan
pendekatan pengajaran ini, realistic mathematics education (RME) juga melakukan hal yang
sama yaitu siswa hanya dapat belajar matematika dengan baik melalui kerja yang riil, dalam
istilah Freudenthal menemukan kembali matematika (Re-inventing mathematics). Keduanya
menegaskan secara implisit bahwa, pendidik harus betul-betul matang memahami materi yang
diajarkan, yaitu memahami sifat-sifat dari topik yang diajarkan dengan melihat sifat-sfiat ini dari
berbagai sudut pandang dan konteksnya.
Jika situasi seperti dikatakan Wittmann terjadi, maka tidak ada gunanya kita mengatakan
matematika itu indah, matematika itu menarik, matematika menantang, karena mereka
menganggap bahwa mereka tidak cocok belajar matematika, hanya saja mereka harus mengikuti
perlajaran itu di kelas (wajib mengikuti). Tetapi, seperti yang di jelaskan pada bagian
pendahuluan, siswa ini telah mempunyai potensi awal yang sangat baik dalam komputasi
aretmatika hanya saja bukan dalam bentuk simbolik.
Sekarang kita perhatikan aktivitas manusia sehari-hari yang difasilitasi oleh penggunaan
komunikasi. Kita akan setuju bahwa kemampuan manusia yang penting adalah produk dan pesan
berupa simbol/tanda baik berupa linguistik maupun non-linguistik. Hampir semua kehidupan
sosial atau individu diatur dan dimediasi oleh sistem simbol/tanda. Salah satu aspek yang sangat
krusial dan sangat penting dalam matematika adalah simbol/tanda. Simbol-simbol atau
tanda-tanda ini menghasilkan struktur simbolik yang dapat digunakan untuk memodelkan situasi
dan proses dalam banyak hal dalam sistem kehidupan kita. Dilain pihak, dengan adanya struktur
simbolik/diagramatik (seperti, sistem desimal, pecahan, persamaan diferensial, aljabar Boole,
statistik, dan lain sebagainya) dalam matematika dapat digunakan sebagai model fungsional
untuk mendeskripsikan model-model non-matematika. Konteks-konteks ini merupakan suatu
potensi besar untuk pendesainan dan pengembangan struktur simbolik/diagramatik dalam
pelajaran matematika. Beberapa pengembang matematika realistik (realistic mathematics) (di
indonesia dinamakan pendidikan matematiika realistik indonesia (PMRI)), telah memanfaatkan
konteks ini dengan sangat efesien khususnya hal-hal yang berkenaan dengan pengembangan
sistem simbol/tanda dalam komunitas di kelas.
Jika matematika sebagai aktivitas manusia, semua ilmu matematika dikonstruksi oleh
manusia, maka konsekuensinya mengajar matematika harus menciptakan situasi dimana siswa
akan mengkonstruksi pemahamannya tentang matematika sebagai aktivitas sosial masyarakat.
Konsep pembelajaran ini sering disebut menyiapkan siswa untuk belajar matematika seperti
(seolah-olah) seorang matematikiawan mengkaji matematika. Jika kita kembali kepada
epistemologi dan sejarah matematika, materi ajar seharusnya memuat konteks-konteks yang
sudah ada dipikiran siswa sesuai dengan potensi awal yang sudah dimilikinya. Jadi tidaklah tepat
jika seorang guru membuat konteks dalam pelajaran matematika yang datang tiba-tiba karena
gurunya sendiri senang dengan konteks tersebut. Logikanya, tidaklah mungkin matematika
menjadi aktivitas sosial dalam kelas jika konteksnya sendiri tidak dipahami betul oleh komunitas
dalam kelas tersebut. Bagaimana mungkin kita mengatakan bahwa jembatan ampera menjadi
konteks pelajaran geometri sedangkan yang ada dalam otak siswa warna-warni sinar lampu di
jembatan itu diwaktu malam. Bagaimana mungkin kita mengatakan jeruk menjadi konteks dalam
topik kajian volume bola jika yang dibayangkan siswa rasa masam dan manisnya jeruk.
Memang pembelajaran matematika harus mengikuti dinamika perkembangan teknologi yang
berkembang saat ini dan tren teknologi dimasa datang yang notabene merupakan alat untuk
melakukan aktivitas sosial masyarakat modern. Oleh karenanya, pengajaran matematika juga
harus menggunakan pendekatan-pendekatan terbaru yang disesuaikan dengan waktu kekinian
(up-to-date teaching-learning approaches). Dalam konteks pembelajaran matematika masa kini
sebagai aktivitas manusia dan sebagai gagasan manusia, Kilpatrick dan kawan-kawan (2002)
membuat suatu catatan berikut:
“Mathematics is one of humanity’s great achievement. By enhancing the capabilities of the human
mind, mathematics has facilitated the development of science, technology, engineering, business, and
government.”
Kekuatan matematika terletak pada pemakaian simbol/tanda. Sebagai bahasa simbol,
matematika seharusnya diajarkan dalam karidor komunikasi interaktif yaitu konten matematika
harus dirancang sedemikian rupa sehingga konten ini dapat dikomunikasikan di dalam kelas.
Sebagai contoh, lingkungan anak didik yang gemar mengail ikan-secara informal-mereka sudah
mempunyai pemahaman bagaimana mereka membagi rata(secara proporsional) hasil perolehan
mengail (satuannya dapat berupa ikor atau berat). Misalkan ada enam ekor ikan dari
perolehannya (dipresentasikan dalam model ikan) mereka yang mengail ada tiga orang, kita
tanya berapa ekor masing-masing memperoleh ikan dengan cara apa yang biasa mereka lakukan?
Karena aktivitas ini biasa mereka lakukan, mereka akan segera mengerjakan tugas ini seperti
biasa mereka lakukan dan menjawab pertanyaan itu dengan mengatakan bahwa masing-masing
dari mereka mendapat dua ekor. Selajutnya kita tanyakan berapa hasil dari 6/3 (enam dibagi tiga)
mereka akan gagal menangkap pesan yang termuat pada simbol 6/3.
Hal ini juga berlaku dalam bidang linguistik, misalnya kita menuliskan pesan di papan tulis
(dimana anak didik sudah dapat membaca) dengan tulisan “lihat halaman 13 buku matematika
anda” mereka segera merespon tulisan ini dengan melihat bukunya pada halaman 13. Hal ini
dikarenakan, anak didik telah mengerti simbol dan pesan yang dituliskan dipapan tulis tersebut.
Sekarang bayangkan kita menulis di papan tulis simbol “ xyzap tbsh qqgbc asgti” anak didik
tidak dapat melakukan apa-apa tentang simbol ini karena mereka tidak mengerti arti simbol ini
apalagi pesan yang ada pada simbol itu. Sekarang, kita bayangkan pesan apa yang diterima oleh
anak didik saat kita menuliskan di papan tulis “ −1×(−1) =L”. Relasi kebahasaan dengan
simbol-simbol matematika ini telah menarik Burton (1992), Lapp dan Flood (1978) untuk
mengadakan penyelidikan di sekolah-sekolah level bawah. Hasil kajiannya menyimpulkan
bahwa pada level yang paling dasar, siswa harus diajarkan memahami kata-kata dan
kalimat-kalimat dalam matematika secara komprehensif. Siswa perlu diarahkan untuk memaknai
atau memahami kata-kata seperti 5, +, 23, =, dan kalimat-kalimat seperti 6 < 7,3+ 2 = 5
terhadap konteks dimana simbol-simbol dan kalimat-kalimat ini digunakan.
Raymond dan Lienenbach (2000) memperkenal matematika simbolik pada persamaan
aljabar satu variabel dengan menggunakan timbangan. Operasi-operasi pada aljabar kemudian
digantikan dengan melakukan pemindahan pion (sebagai simbol x) kesebelah kiri dan angka
disebelah kanan tangan timbangan untuk menyatakan persamaan aljabar. Proses penyelesaian
persamaan aljabar dilakukan dengan cara yang sama yaitu aktivitas memindahkan pion dan
angka baik kesebelah kiri tangan timbangan atau kesebelah kanannya dengan mengontrol
kesetimbangannya. Aktivitas ini sangat baik untuk menjelaskan arti simbol “=”. Pemindahan
pion dan angka akan berakhir jika tinggal menyisahkan satu buah pion ditangan timbangan
sebelah kiri dan disebelah kanan hanya berisi angka. Proses terakhir tadi menunjukkan
penyelesaian aljabar dalam bentuk x = b dimana b menyatakan angka.
Pentingnya memperhatikan pengajaran matematika sebagai aktivitas sosial baik dari
sudut pandang matematika murni terlebih-lebih dari sudut pandang matematika aplikasi
khususnya di sekolah–sekolah dasar menurut Schoenfeld (1992) dikarenakan matematika sendiri
secara alami atau keberadaannya merupakan hasil karya manusia untuk keperluan aktivitas
manusia baik sebagai pondasi penting terhadap perkembangan teknologi dan sains maupun untuk
memecahkan masalah matematika itu sendiri. Schoefeld sendiri mengartikan matematika sebagai
berikut:
“Mathematics is a inherently social activity, in which a community of trained practitioners
(mathematical scientists) engages in the science of patterns-systematic attemps, based on
observation, study, and exprementation, to determine the nature or principles of regularities in
systems defined axiomatically or theoretically (“pure mathematics”) or models of systems abstracted
from real word objects (“applied mathematics”). The tools of mathematics are absraction, symbolic
representation, and symbolic manipulation. However, being trained in the use of these tools no more
means that one thinks mathematically than knowing how to use shop tools makes one a scraftsman.
Learning to think mathematically means (a) developing a mathemtical point of view-valuing the
processes of mathematization and abstraction and having the prediction to apply them, and (b)
developing competence with the tools of the trade, and using those tools in the service of the goal of
understanding structure-mathematical sense-making.
Jadi walaupun pengajaran matematika itu dimulai dari aktivitas-aktivitas sederhana, melalui
konteks-konteks riil (kebanyakan bentuk-bentuk benda nyata) akan tetapi tujuan akhir dari
pengajaran matematika adalah untuk mencapai level mampu melakukan abstraksi, manipulasi
secara simbolik, berpikir nalar deduktif, dan mampu mengaplikasikannya dalam situasi
sederhana (simple modelling).
Apapun bentuk matematika baik konkret maupun abstrak semua merupakan pekerjaan
manusia dan dihasilkan oleh manusia. Perhitungan, algoritma, bukti, teorema, dalil, gambar
suatu diagram, konsekuensi dari asumsi dan sebagainya, semuanya jelas-jelas dilakukan atau
diakibatkan oleh manusia. Seseorang yang melakukan sesuatu menggunakan matematika
merupakan anggota dari masyarakat. Akan tetapi, banyak orang, termasuk kita, bertanya kenapa
(seolah-olah) apa dihasilkan oleh matematikiawan berbeda dengan apa dibutuhkan dan dilakukan
oleh masyarakat padahal mereka notabene juga manusia sebagai bagian dari masyarakat.
Sebaliknya, matematika yang muncul pada jaman Mesir Kuno atau Jaman Mesopotamia,
pengetahuan ini terdiri dari sekumpulan prosedur/resep untuk menyelesaikan masalah (dalam
kehidupan sehari-hari) dan ini tidak pernah dipermasalahkan. Seorang psikologi pendidikan
matematika Austria Dörfler (2007) mempunyai tesis berikut “Make the learners aware of the
human origin and nature of all of mathematics and of all that is said about mathematics”. Thesis
ini merupakan refleksi dari seorang ahli pendidikan matematika yang kecewa melihat begitu
banyaknya siswa yang gagal mempelajari matematika disemua tingkat dan semua level
pendidikan di Austria. Begitu juga di Indonesia, Zulkardi (2002) mengungkap begitu banyak
siswa menjadikan matematika sebagai “momok”.
Phenomena ini tentunya merupakan refleksi “ketakutan” atau frustasi siswa terhadap
pelajaran matematika. Refleksi ini muncul akibat kegagalan mereka memahami matematika itu
sendiri. Kegagalan memahami matematika ini mendoktren siswa untuk beranggapan bahwa
pelajaran matematika hanya cocok untuk siswa pintar saja (extraordinary student). Sebagai
ilustasi, kita tinjau komputasi aritmatika (−1)(−1) =1 dan entitas (−1) = i . Kita jelaskan ini
kepada siswa (-1) kali (-1) sama dengan 1 dan akar dari -1 sama dengan i . Siswa menghadapi
masalah kognitif yang begitu berat dengan simbol dan aturan-aturan ini. Apa arti -1 ini ? Kenapa
-1 kali -1 hasilnya 1? Kenapa −1 = i2 ? Ini semua tidak relevan dengan keperluan saya sebagai
siswa. Pengalaman ini dianggap tidak masuk akal (not make sense).
Sangat menarik apa yang dikatakan oleh Wittmann (2007) tentang perkembangan
pengajaran matematika dalam artikelnya yang berjudul Mathematics as the Science of
Pattern-from the very Beginning, ia mengatakan sebagai berikut
“Today mathematics teaching is similarly endangered by another movement which is not derived from
a certain conception of mathematics but determined by the intention to ensure measurable outputs. This
movement is controlled by psychologists and pedagogues who do not have any idea of mathematics and
collaborating mathematics educators.”
Pengajaran matematika tidak mempunyai roh, bukan berdasarkan philosofi matematika yaitu
mempelajari perhitungan tentang subjek apa yang sedang dipelajari. Pengajar tidak memahami
tentang sifat-sifat matematika, tidak punya gambaran jelas tentang ide-ide dalam matematika,
akan tetapi pengajaran matematika hanya bersandarkan pada bagiamana mengajar saja, hanya
mengikuti prosedur melaksanakan pendekatan-pendekatan pengajaran saja, simbol dan konteks
banyak salah sasaran.
Menurut Withmann, seharusnya, pengajaran matematika harus dalam koridor matematika
sebagai ilmu pengetahuan tentang bentuk. Memang Wittmann ini sangat dipengaruhi oleh
pandangan matematika Bourbaki. Wittmann tidak sendirian yang memprovokasi gagasan
pendekatan pengajaran ini, realistic mathematics education (RME) juga melakukan hal yang
sama yaitu siswa hanya dapat belajar matematika dengan baik melalui kerja yang riil, dalam
istilah Freudenthal menemukan kembali matematika (Re-inventing mathematics). Keduanya
menegaskan secara implisit bahwa, pendidik harus betul-betul matang memahami materi yang
diajarkan, yaitu memahami sifat-sifat dari topik yang diajarkan dengan melihat sifat-sfiat ini dari
berbagai sudut pandang dan konteksnya.
Jika situasi seperti dikatakan Wittmann terjadi, maka tidak ada gunanya kita mengatakan
matematika itu indah, matematika itu menarik, matematika menantang, karena mereka
menganggap bahwa mereka tidak cocok belajar matematika, hanya saja mereka harus mengikuti
perlajaran itu di kelas (wajib mengikuti). Tetapi, seperti yang di jelaskan pada bagian
pendahuluan, siswa ini telah mempunyai potensi awal yang sangat baik dalam komputasi
aretmatika hanya saja bukan dalam bentuk simbolik.
Sekarang kita perhatikan aktivitas manusia sehari-hari yang difasilitasi oleh penggunaan
komunikasi. Kita akan setuju bahwa kemampuan manusia yang penting adalah produk dan pesan
berupa simbol/tanda baik berupa linguistik maupun non-linguistik. Hampir semua kehidupan
sosial atau individu diatur dan dimediasi oleh sistem simbol/tanda. Salah satu aspek yang sangat
krusial dan sangat penting dalam matematika adalah simbol/tanda. Simbol-simbol atau
tanda-tanda ini menghasilkan struktur simbolik yang dapat digunakan untuk memodelkan situasi
dan proses dalam banyak hal dalam sistem kehidupan kita. Dilain pihak, dengan adanya struktur
simbolik/diagramatik (seperti, sistem desimal, pecahan, persamaan diferensial, aljabar Boole,
statistik, dan lain sebagainya) dalam matematika dapat digunakan sebagai model fungsional
untuk mendeskripsikan model-model non-matematika. Konteks-konteks ini merupakan suatu
potensi besar untuk pendesainan dan pengembangan struktur simbolik/diagramatik dalam
pelajaran matematika. Beberapa pengembang matematika realistik (realistic mathematics) (di
indonesia dinamakan pendidikan matematiika realistik indonesia (PMRI)), telah memanfaatkan
konteks ini dengan sangat efesien khususnya hal-hal yang berkenaan dengan pengembangan
sistem simbol/tanda dalam komunitas di kelas.
Jika matematika sebagai aktivitas manusia, semua ilmu matematika dikonstruksi oleh
manusia, maka konsekuensinya mengajar matematika harus menciptakan situasi dimana siswa
akan mengkonstruksi pemahamannya tentang matematika sebagai aktivitas sosial masyarakat.
Konsep pembelajaran ini sering disebut menyiapkan siswa untuk belajar matematika seperti
(seolah-olah) seorang matematikiawan mengkaji matematika. Jika kita kembali kepada
epistemologi dan sejarah matematika, materi ajar seharusnya memuat konteks-konteks yang
sudah ada dipikiran siswa sesuai dengan potensi awal yang sudah dimilikinya. Jadi tidaklah tepat
jika seorang guru membuat konteks dalam pelajaran matematika yang datang tiba-tiba karena
gurunya sendiri senang dengan konteks tersebut. Logikanya, tidaklah mungkin matematika
menjadi aktivitas sosial dalam kelas jika konteksnya sendiri tidak dipahami betul oleh komunitas
dalam kelas tersebut. Bagaimana mungkin kita mengatakan bahwa jembatan ampera menjadi
konteks pelajaran geometri sedangkan yang ada dalam otak siswa warna-warni sinar lampu di
jembatan itu diwaktu malam. Bagaimana mungkin kita mengatakan jeruk menjadi konteks dalam
topik kajian volume bola jika yang dibayangkan siswa rasa masam dan manisnya jeruk.
Memang pembelajaran matematika harus mengikuti dinamika perkembangan teknologi yang
berkembang saat ini dan tren teknologi dimasa datang yang notabene merupakan alat untuk
melakukan aktivitas sosial masyarakat modern. Oleh karenanya, pengajaran matematika juga
harus menggunakan pendekatan-pendekatan terbaru yang disesuaikan dengan waktu kekinian
(up-to-date teaching-learning approaches). Dalam konteks pembelajaran matematika masa kini
sebagai aktivitas manusia dan sebagai gagasan manusia, Kilpatrick dan kawan-kawan (2002)
membuat suatu catatan berikut:
“Mathematics is one of humanity’s great achievement. By enhancing the capabilities of the human
mind, mathematics has facilitated the development of science, technology, engineering, business, and
government.”
Kekuatan matematika terletak pada pemakaian simbol/tanda. Sebagai bahasa simbol,
matematika seharusnya diajarkan dalam karidor komunikasi interaktif yaitu konten matematika
harus dirancang sedemikian rupa sehingga konten ini dapat dikomunikasikan di dalam kelas.
Sebagai contoh, lingkungan anak didik yang gemar mengail ikan-secara informal-mereka sudah
mempunyai pemahaman bagaimana mereka membagi rata(secara proporsional) hasil perolehan
mengail (satuannya dapat berupa ikor atau berat). Misalkan ada enam ekor ikan dari
perolehannya (dipresentasikan dalam model ikan) mereka yang mengail ada tiga orang, kita
tanya berapa ekor masing-masing memperoleh ikan dengan cara apa yang biasa mereka lakukan?
Karena aktivitas ini biasa mereka lakukan, mereka akan segera mengerjakan tugas ini seperti
biasa mereka lakukan dan menjawab pertanyaan itu dengan mengatakan bahwa masing-masing
dari mereka mendapat dua ekor. Selajutnya kita tanyakan berapa hasil dari 6/3 (enam dibagi tiga)
mereka akan gagal menangkap pesan yang termuat pada simbol 6/3.
Hal ini juga berlaku dalam bidang linguistik, misalnya kita menuliskan pesan di papan tulis
(dimana anak didik sudah dapat membaca) dengan tulisan “lihat halaman 13 buku matematika
anda” mereka segera merespon tulisan ini dengan melihat bukunya pada halaman 13. Hal ini
dikarenakan, anak didik telah mengerti simbol dan pesan yang dituliskan dipapan tulis tersebut.
Sekarang bayangkan kita menulis di papan tulis simbol “ xyzap tbsh qqgbc asgti” anak didik
tidak dapat melakukan apa-apa tentang simbol ini karena mereka tidak mengerti arti simbol ini
apalagi pesan yang ada pada simbol itu. Sekarang, kita bayangkan pesan apa yang diterima oleh
anak didik saat kita menuliskan di papan tulis “ −1×(−1) =L”. Relasi kebahasaan dengan
simbol-simbol matematika ini telah menarik Burton (1992), Lapp dan Flood (1978) untuk
mengadakan penyelidikan di sekolah-sekolah level bawah. Hasil kajiannya menyimpulkan
bahwa pada level yang paling dasar, siswa harus diajarkan memahami kata-kata dan
kalimat-kalimat dalam matematika secara komprehensif. Siswa perlu diarahkan untuk memaknai
atau memahami kata-kata seperti 5, +, 23, =, dan kalimat-kalimat seperti 6 < 7,3+ 2 = 5
terhadap konteks dimana simbol-simbol dan kalimat-kalimat ini digunakan.
Raymond dan Lienenbach (2000) memperkenal matematika simbolik pada persamaan
aljabar satu variabel dengan menggunakan timbangan. Operasi-operasi pada aljabar kemudian
digantikan dengan melakukan pemindahan pion (sebagai simbol x) kesebelah kiri dan angka
disebelah kanan tangan timbangan untuk menyatakan persamaan aljabar. Proses penyelesaian
persamaan aljabar dilakukan dengan cara yang sama yaitu aktivitas memindahkan pion dan
angka baik kesebelah kiri tangan timbangan atau kesebelah kanannya dengan mengontrol
kesetimbangannya. Aktivitas ini sangat baik untuk menjelaskan arti simbol “=”. Pemindahan
pion dan angka akan berakhir jika tinggal menyisahkan satu buah pion ditangan timbangan
sebelah kiri dan disebelah kanan hanya berisi angka. Proses terakhir tadi menunjukkan
penyelesaian aljabar dalam bentuk x = b dimana b menyatakan angka.
Pentingnya memperhatikan pengajaran matematika sebagai aktivitas sosial baik dari
sudut pandang matematika murni terlebih-lebih dari sudut pandang matematika aplikasi
khususnya di sekolah–sekolah dasar menurut Schoenfeld (1992) dikarenakan matematika sendiri
secara alami atau keberadaannya merupakan hasil karya manusia untuk keperluan aktivitas
manusia baik sebagai pondasi penting terhadap perkembangan teknologi dan sains maupun untuk
memecahkan masalah matematika itu sendiri. Schoefeld sendiri mengartikan matematika sebagai
berikut:
“Mathematics is a inherently social activity, in which a community of trained practitioners
(mathematical scientists) engages in the science of patterns-systematic attemps, based on
observation, study, and exprementation, to determine the nature or principles of regularities in
systems defined axiomatically or theoretically (“pure mathematics”) or models of systems abstracted
from real word objects (“applied mathematics”). The tools of mathematics are absraction, symbolic
representation, and symbolic manipulation. However, being trained in the use of these tools no more
means that one thinks mathematically than knowing how to use shop tools makes one a scraftsman.
Learning to think mathematically means (a) developing a mathemtical point of view-valuing the
processes of mathematization and abstraction and having the prediction to apply them, and (b)
developing competence with the tools of the trade, and using those tools in the service of the goal of
understanding structure-mathematical sense-making.
Jadi walaupun pengajaran matematika itu dimulai dari aktivitas-aktivitas sederhana, melalui
konteks-konteks riil (kebanyakan bentuk-bentuk benda nyata) akan tetapi tujuan akhir dari
pengajaran matematika adalah untuk mencapai level mampu melakukan abstraksi, manipulasi
secara simbolik, berpikir nalar deduktif, dan mampu mengaplikasikannya dalam situasi
sederhana (simple modelling).
Comments
Post a Comment